Rabu, 17 Desember 2014

Not Just A Passionate Affair : 7 days post-op

PRIVATE ROOM - LONG TERM CARE WARD

"Yang ini bukan yg kau maksud??", Bade Bhaiya memperlihatkan 2 buah novel tebal yang sudah nampak lusuh karena saking seringnya dibaca.
"Semoga benar ini. Karena kami tak bisa menemukan yang lain lagi", lanjutnya.
"Tidak tidak, betul yang itu. Dua itu memang yang paling disukainya. Dia membacanya berulang ulang", Meera menambahkan.
"Maaf tentang ideku ini. Aku...aku hanya berfikir...dia suka sekali membaca kan. Pasti...pasti sekarang dia juga suka sekali kalau mendengar seseorang membacakan untuknya buku yang disukainya...", Payal berkata sambil sambil berusaha keras menahan air matanya. Dia nampak khawatir usulannya tidak berguna. Ia melanjutkan "Aku...aku hanya berusaha melakukan sesuatu yang aku bisa untuknya...aku...aku..."
"It's okay Payal", Jalal berkata dengan suara tenang dan penuh keyakinan. "Kita semua akan melakukan apa yang kita bisa untuknya"

Jalal mengambil kedua novel itu dari tangan BaBhi. Lalu melangkah menuju pintu di depan mereka.
Meera menghentikannya untuk mengatakan sesuatu "Semoga ini berhasil Jalal.., dan kita semua yakin, jika ada orang yang bisa membawanya kembali pada kita, satu-satunya orang itu adalah kamu...".
Payal dan Reenu menyusul Meera untuk menyampaikan doa, harapan dan kata2 penyemangat untuk Jalal. Sebenarnya mereka butuh perjuangan besar untuk tidak menangis di hadapan Jalal. Menangisi keadaan dua sejoli sahabat mereka setelah kejadian itu. Begitu banyak harapan hidup digantungkan padanya.
"Trims", kata Jalal tersenyum pada mereka, lalu masuk ke ruangan itu. Untuk melakukan apa yang harus dilakukannya.

Jalal menutup pintu di belakangnya. Setelah sekian lama, bahkan setelah lebih dari 3bulan lalu, ini adalah moment pertamanya untuk bisa bertemu hanya berdua dengan jodha di tempat yang hanya diperuntukkan bagi mereka berdua.

Setelah ia menghabiskan beberapa hari untuk meredakan emosinya, berusaha tegar menghadapi kenyataan, lalu mempersiapkan segala sesuatunya, mempersiapkan dirinya sendiri, untuk masa penantian yang tak tahu kapan akan berakhir. Ia menarik napas panjang. Beberapa detik untuk membentengi air matanya, dan untuk berusaha tersenyum. Bukan, bukan karena Jo, his-Jo, bisa melihatnya tersenyum, tapi karena dia yakin bahwa Jo bisa merasakan senyumnya.

"Berbicara pada pasien koma dengan suara pelan, lembut dan tenang", salah satu baris yang diingatnya dari banyak artikel dan penelitian yang ia pelajari beberapa hari terakhir. "Mereka bisa merasakan emosi orang-orang di dekatnya."

Maka setelah yakin siap, dia mendekati Jodha. Pelan. Entah bagaimana, pertemuan hari itu terasa lebih santai. Sekarang lebih mudah baginya untuk berdiri di dekat kekasihnya itu. Memandanginya,, untuk menerima "penampilan baru" kekasihnya. Dalam hati ia berkata, 'Setidaknya Tuhan masih mengijinkanku bersamanya, masih memberiku kesempatan melakukan sesuatu, dan masih memberiku harapan'.
Jalal menatap Jodha yang terbaring dengan segala macam alat bantu, jarum, selang, perban dan segala macam peralatan medis menghiasi tubuhnya. Pandangannya lalu tertuju pada mesin di sebelah tempat tidur Jodha, pada garis-garis penanda kehidupan yang tak berhenti berbunyi bip bip. Bunyi yang menandakan masih ada harapan.

Jalal menarik kursi mendekat ke Jodha, hingga ia bisa memegang tangannya. Mengusap punggung tangannya, lalu dengan penuh keyakinan mulai berbicara,
"Hei Jo..", sambil menatap wajah yang hanya diam, menutup mata, tak bergerak..
"Ini aku, Jalal-mu...aku tak tau apa kau bisa merasakanku...tapi aku tau kau bisa mendengarku... Jo, tadi seluruh keluargamu disini...ibuku juga tadi disini menjengukmu...dan sekarang aku disini..."
Ia berhenti sejenak, menarik nafas perlahan seolah khawatir Jo bisa merasakan emosinya. Berusaha melonggarkan tenggorokannya yang terasa sakit, tercekat.. Sesaat sudah merasa kembali tenang, ia berbicara kembali. Mengatakan sesuatu yang ia tahu, akan ditanyakan Jodha jika saat itu ia sadar.

"Bahuku sudah semakin baik Jo... besok baju pasien ini sudah boleh dilepas. Mungkin aku segera boleh menyelesaikan perawatan disini. Yah, masih agak sakit Jo...tanganku masih bergetar seringkali rasanya seperti disengat listrik. Nampaknya pembuluh arterinya ada yang terkena, jadi beberapa syarafnya mungkin ada yang terpengaruh. Yah, beberapa bulan ke depan akan ada banyak fisioterapi,,, ga bisa nge-gym dulu untuk sementara waktu.."

Tiba-tiba ia menyadari ia mulai terbawa perasaan sedihnya. Jalal menarik nafas dan menggelengkan kepalanya untuk menyadarkan diri, menegur dirinya sendiri. Bahwa keberadaannya disitu hanya untuk memberikan rangsangan positif untuk Jodha. Bukan berbagi kesedihan.
"Hai, tapi aku pasti segera membaik. Supaya kita bisa nongkrong bareng lagi seperti biasa...hihi" ia mengatakan itu sambil tertawa spontan, membayangkan saat-saat mereka tertawa bersama di waktu lalu.
Ia menunggu. Berharap ada sedikit saja respon. Tapi tidak ada. Di jari-jarinya barangkali ada gerakan, matanya, gerak refleksnya....tapi rupanya belum beruntung kali ini.

Dia menutup matanya, berusaha mengingat hal-hal menyenangkan dan positif yang bisa dikatakannya.
"Ngomong-ngomong tentang nongkrong, tadi aku, salim, maan, meera, reenu, payal dan abdul, kami nongkrong sebentar di kantin rumah sakit. Huhh, rasa pecelnya seburuk pecel di kantin kampus Jo...nanti kalau kau ikut pasti kau akan berkomentar sama..."
Matanya berbinar-binar.
"Jo, betapa bahagianya kita waktu nongkrong sama mereka di kantin kampus ya,,, hari-hari yang menyenangkan bukan...suatu saat meskipun kau sudah selesai dengan MBA mu, kita harus mampir sesekali untuk mengingat semua saat-saat menyenangkan itu ya..."

Mengingat semua momen bahagia itu membuat Jalal bahagia, dan ia yakin Jo-nya juga pasti bahagia mendengarnya.
Ia melanjutkan lagi, "Dan kamu pasti masih ingat Rumah Jompo kita kan...hari ini mereka jauh-jauh datang kesini Jo...membawa apa yang bisa mereka bawa, bubuk holi, vibroti, dan segala macam, untuk mendoakan kita..."

"Hari ini kita banyak pengunjung Jo yang semuanya mendoakan kebaikan untuk kita. Teman-temanku dari Mumbai, pamanmu dari Jaipur, teman-teman kampus kita, staf kampus, aku berharap kau bisa membuka matamu untuk melihat mereka semua..." ((mewek guwe))

Jalal mulai merasakan nyeri di lengannya. Tapi ia tak peduli. Tetap ingin membelai tangan Jo, satu-satunya bagian tubuh yang berani disentuhnya. Karena nampak tak akan mengganggu keberadaan semua alat-alat penunjang hidupnya yang tersebar di sekujur tubuh.

"Jo aku merindukanmu...sangat... oya Jo, aku bawakan novel kesukaanmu. Aku akan kesini setiap sore di jam besuk, membacakannya untukmu.."

Dia mengingat pesan lain dari jurnal-jurnal yang dia baca -Membacakan sesuatu pada pasien koma akan membantu mereka berimajinasi-
"Dan kuharap...ketika aku membacakan chapter terakhir, saat itu kau sudah terbangun untuk membacanya bersamaku..."

Jalal seperti memperoleh mental booster dari kata-katanya sendiri. Lalu ia mulai membaca. Sambil sesekali memandang Jo, mengharapkan satu saja gerakan kecil. Tapi tetap. Tidak ada. Belum. Ini baru hari kedua.

6 komentar:

  1. mimin sedih.,,aq juga ikutan mewek.,,,lanjuti dong penasaran nih.,,klo bca ff yg asli membosankn soalx ngak ada candaan miminx

    BalasHapus
  2. Iyaaa sabar yaaa cah ayuuu...haha

    BalasHapus
  3. Hai Aku silent readermu....Iya mmng ff ini seru...lanjutin ya...semangat

    BalasHapus
  4. Sedih banget ,,berasa ada disana ,,, pas banget kena hatii ,,
    lanjut terus yah min ,, ditunggu ,,

    BalasHapus
  5. Mba Niaaa aku dibikin mewek ini huwaaaaaaaaa :'( baguuussss bgt mbaaa ampuuuuuuuunnn -_-

    BalasHapus