Rombongan Tuan Shafwan (tampaknya yang dimaksud adalah Shafwan Bin Umayyah) kemarin tampak sedang melanjutkan perjalanan ketika mereka berpapasan dengan seseorang.
Note:
Ada cerita menarik terkait Shafwan bi Umayyah. Saking bencinya Nabi padanya karena segala kejahatannya, pernah Nabi berdoa memohon ia dilaknat.
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari yang bersumber dari Ibnu Umar, diriwayatkan pula oleh Bukhari yang bersumber dari Abu Hurairah: Bahwa Ibnu Umar mendengar Rasulullah Saw berdo’a: “Ya Allah, semoga Allah melaknat Al-Harts bin Hisyam, Ya Allah semoga Allah melaknat Suhail bin Amr, Ya Allah semoga Allah melaknat Shafwan bin Umayyah”
Lalu Allah menurunkan Surat Ali Imran ayat 128 sebagai teguran atas sikap Nabi.
“Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima tobat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang dhalim” (QS. Ali Imran : 128)
Hmmm,,, bahkan Allah mengampuni seorang pelacur hanya karena ia merasa begitu iba dan lalu mengambil tindakan tulus memberi minum, pada seekor anjing yang sekarat kehausan. Siapa kita, berani melaknat-laknat kelompok lain. Nabi bukan, alim bukan. Jangan-jangan mukmin saja bukan???
------------------------------------------
------------------------------------------
Back to film!
Shafwan and the gank berpapasan dengan Abu Bakar.
"Selamat pagi, Abu Bakar!" sapa Shafwan.
"Selamat pagi." jawab Abu Bakar tanpa menoleh.
"Kau tidak datang ke Darun Nadwah bersama kita? Kita kehilanganmu."
"Tidak apa-apa. Aku sedang sibuk. Kau tak membutuhkanku." jawabnya sambil menoleh sedikit lalu melanjutkan perjalanan.
"Ada apa dengan Abu Bakar? Dia sekarang jarang muncul di perkumpulan kita. Tampaknya dia sibuk dengan sesuatu yang serius dan rahasia. Sebelumnya dia sangat suka bergaul." gerundel Shafwan sepanjang perjalanan.
Tak lama kemudian mereka berpapasan dengan pemuda Umar.
"Ah! Umar! Bagaimana kabarmu Umar?"
"Aku baik sepanjang pamanku baik."
"Maka datanglah ke Darun Nadwah bersama kami, atau kau juga sibuk?
"Juga?! tidak ada yang menjauhkan diriku dari urusan kaumku. Jika mereka menginginkan sesuatu maka itu keinginanku juga. Mari."
"Mari"
Lalu mereka bersama-sama melanjutkan perjalanan ke Darun Nadwah.
------------------------------------------
------------------------------------------
Sementara itu, di tempat lain, nampak Abu Bakar sedang berjalan sendirian di jalanan perkampungan.
"Abu Bakar!" seseorang memanggilnya dari belakang. Ia pun berbalik. Wajah tak asing menyambutnya.
"Eh, mau kemana Usman?" sapa Abu Bakar.
"Ke tempat pertemuan kaumku."
"Ada hal baru yang perlu diselesaikan?"
"Tidak, ini diskusi biasa saja. Jika ada hal yang baru, kau yang pertama mengetahuinya. Ada apa? Kau seperti meresahkan sesuatu. Jika kau mau, kau bisa mengatakannya padaku, aku akan coba membantumu semampuku."
"Apa yg kupunya adalah sesuatu yang akan bermanfaat bagimu. Aku tidak akan menyembunyikannya tanpa membaginya kepada orang yang aku cintai. Dan kau adalah sahabat terbaikku."
"Begitu juga kau bagiku. tapi... "
"Tinggalkan pertemuan itu dan ikutlah denganku. Bagaimana pendapatmu tentang saudaramu?"
"Siapa? Kau?"
"Pernahkah aku membohongimu?"
"Tidak, pastinya. Engkau selalu jujur dan baik."
"Dan seseorang yang paling jujur adalah Muhammad bin Abdullah."
"Jelas seperti yang kau katakan: ia jujur dan dapat dipercaya. Tapi ada apa dengannya? Kau tak mau bicara padaku?"
"Aku akan mengatakannya, dengan syarat, kau berjanji bahwa kau tidak akan menyebarkannya, terlepas kau suka atau tidak dengan apa yang kukatakan."
"Kau membuatku resah. Baiklah aku berjanji, tentu apa yang kau minta untuk disembunyikan sangat serius."
"Ya, benar. Orang Arab belum pernah mendengar yang seperti itu sebelum sekarang dan itu memberikan jalan yang benar di kehidupan sekarang dan kehidupan Akhirat."
"Akhirat! apa akhirat?"
------------------------------------------
------------------------------------------
Di bagian lain lagi Kota Mekkah.
Bocah laki-laki kecil itu tampak berlari-lari pulang ke rumah. Setibanya di rumah, ayahnya sudah menunggunya dan siap dengan sederet pertanyaan.
"Hai Ali. Bagaimana keadaan sepupumu? Maksudku Muhammad..."
"Beliau baik, dengan rahmat Tuhannya." ragu Ali menjawab demikian.
"Siapa Tuhannya?" tanya Sang Ayah. "Aku melihatmu tadi bersamanya di jalan pegunungan." lanjutnya.
"Kau melihatnya?" Ali terkejut.
"Apa yang kalian lakukan? Kalian bersujud kemudian berdiri. dan itu bukanlah sujud seperti yang dilakukan di dekat berhala. Bahkan aku belum pernah melihat dia atau engkau bersujud kepada berhala kita."
Pelan Ali menjawab, "Yang kau lihat adalah Shalat, Ayah. Tuhan memerintahkannya melalui Nabi-Nya"
"Nabi?? maksudmu..." Abu Tholib terkejut.
"Keponakanmu, Ayah. Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam. Beliau adalah Nabi, dan wahyu yang diberikan kepadanya adalah dari langit. Itu adalah Al-Qur'an, Perkataan Tuhan. Aku mengikuti agama, Islam."
"Nabi... Wahyu... Qur'an... Islam! Kau terlalu banyak bicara, Ali. Duduklah dan jelaskan padaku tentang agama yang kau sebutkan ini dan apa artinya?"
------------------------------------------
------------------------------------------
Di sudut kota yang lainnya lagi. Di Rumah Yasir bin Amir, ayahanda Amar bin Yasir, suami dari Sumayyah binti Khayyath. Yasir dan istrinya adalah 2 orang sahabat yang termasuk Assabiqunal Awwalun (golongan pertama pemeluk Islam) selain Abu Bakar dan Ali.
"Mau kemana kau pergi, Ammar?" tanya Sang Ayah sambil berjalan mendekati Amar yang terlihat sedang akan keluar rumah.
"Aku punya urusan yang harus kudatangi."
"Kau sering pergi sekarang. Dan aku tak tahu apa yang kau perbuat. Ketika aku menanyakanmu, kau hanya berkata, mendatangi sebagian urusan. Urusan apa?" belum selesai ia menanyai anak laki-lakinya, istrinya muncul dari dalam rumah berjalan keluar. "Dan kau Bu, mau kemana juga kau?"
"Aku mau pergi ke rumah Abu Hakam bin Hisyam. Istrinya menyuruhku datang perihal sesuatu."
"Kau akan melayaninya Bu? Apakah tidak cukup dia memiliki budak?" tanya Amar keras kepada ibunya.
"Budaknya sedang tidak sehat. Lagipula, kita berutang jasa kepada Bani Makzhum. Bukankah kita sekutunya?" jawab Ibu Amar.
"Iya, sekutunya, bukan budaknya. Aku tau kau adalah mantan budak wanita mereka tapi dia membebaskanmu dan menikahkanmu dengan ayah sebelum dia meninggal. Bani Makzum mau engkau melayani mereka karena hal itu, sebagaimana kau masih..."
"Tidak, Amar, tidak anakku." sela Ibu Amar.
"Tidak Amar, jangan terburu-buru, atau kau akan menjerumuskan kita pada sesuatu yang kita tidak bisa menghadapinya. Kita tidak boleh mengabaikan keinginan keinginan mereka. Ketika aku datang dari Yaman ke kota ini, Bani Makzum menerimaku dan memberikan perlindungan kepadaku, menjadikanku sekutunya, maka aku berutang nyawa kepada mereka" Ayah Amar berusaha menengahi dan membela Ibu amar yang hendak pergi ke rumah Bani Makzum."
Amar emosi. Ia pergi meninggalkan ayah ibunya sambil berkata,"Tidak ada yang memiliki nyawa selain penciptanya."
"Apa yang dia katakan?" Ayah Amar kebingungan.
Ibu Amar tidak menjawab lalu bergegas pergi.
------------------------------------------
Di Rumah Abu Tholib.
"Anakku, dia menunjukkan kepada kita kebenaran, jadi tetaplah bersamanya dan jangan beritahu seseorangpun tentang kalian berdua sampai Allah berkehendak diungkapkan" pesan Abu Tholib kepada Ali kecil setelah mendengar penjelasannya.
To be continued
Home
»
abu bakar
»
Amar bin Yasir
»
Shafwan Bin Umayyah
»
Sumayyah binti Khayyath
»
umar bin khattab
»
Yasir bin Amir
» UMAR BIN KHATTAB The Series (Eps. 2 part 1)
Selasa, 04 Agustus 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar