Ustadz dan Santri Jamaah Internetaniyah
~opini~
Kurasa ya kurasa...
Para ustadz dan pendakwah di jamaah pesbukiyah dan twiteriyah itu semestinya mulai berfikir untuk membuat kurikulum ketika nulis status dakwah. Sehingga orang yang mau belajar darinya bisa belajar dengan runut dari yang paling mendasar hingga yang paling luas.
Sementara santri jamaah tersebut harus mulai berusaha belajar runut mengikuti alur pikir gurunya. Dari dasar pemikiran sampai penjabaran2nya. Pendapatnya tentang semua fenomena. Sumber-sumber yang dijadikan rujukannya. Bukan hanya asal nyamber status.
Ustadz dan santrinya semestinya membedakan mana status kuliah resmi yang berdasarkan kurikulum, dengan komentar-komentar reaktif terhadap fenomena atau kasus yang sedang berkembang yang harus dibaca lengkap beserta konteksnya.
Kalau ada perubahan kurikulum atau perubahan fatwa, karena perkembangan pemikiran pak ustadz atau pendakwah tersebut, baiknya juga diberitakan pada seluruh jamaahnya. Ndak perlu malu. Dulu saya mikir begini, tp berdasarkan ini itu ita ito, pemikiran saya berubah sekarang. Wajar toh namanya juga manusia. Masak ya nggak boleh pemikirannya berubah.
Jadi santrinya yang ngeshare statusnya, atau yang belajar padanya dari socmed doang, tetep bisa paham betul konteks setiap ucapan gurunya. Mengerti secara menyeluruh tentang pola pikirnya, pandangan-pandangannya, rujukan-rujukannya, bukan parsial, meloncat-loncat hingga akhirnya mengakibatkan gagal paham.
Ya kalopun sudah diupayakan begitu, tapi santrinya tetep bengal, ndak mau mempelajari secara menyeluruh gagasan atau pemikiran ustadznya, ya wis lah. Mungkin pemerintah perlu menutup saja pesbuk, twiter, yutub, gugel dan situs2 keagamaan tanpa terkecuali. Biar semua orang kembali ke buku, kembali ke pondok, kembali ustadz di dunia nyata.
Mengapa saya berfikir demikian? Karena ada kecenderungan orang-orang untuk mencomot status ustadz/ pendakwah HANYA ketika itu sejalan dengan pemikirannya. Dan di lain waktu, memakinya karena status ustadz tersebut tidak sesuai dengan pemikirannya.
Aneh lah menurut saya. Misalnya, saya mengernyitkan dahi ketika ada orang yang biasanya maki2 Cak Nun atau Gus Mus atau Gus Dur krn liberal, pendukung JIN, dlsb, tiba-tiba ngeshare tulisan tokoh-tokoh tersebut. Tulisan yang dirasa mendukung pendapatnya.
Saya juga mesam-mesem ketika ada seorang kawan ikhwan yang biasanya menghormati Nouman Ali Khan tiba-tiba terkejut mendapati NAK ternyata banyak ditahdzir ulama2 salaf terhormat bergelar rahimahullah.
Tidak memahami konteks pemikiran seseorang ketika mengatakan sesuatu inilah salah satu alasan mengapa menjadi santri jamaah internetaniyah beserta seluruh cabangnya seperti gugeliyah, pesbukiyah, twitteriyah itu bisa jadi sesat dan menyesatkan. Karena para asatidz tidak punya metode pengajaran dengan kurikulum yang cetha dan sebaliknya santri punya metode belajar asal comot yang penting sesuai dengan pemikirannya. Pantas kalau kacau dunia.
Tentu saja belajar dari internet bisa juga bikin pinter. Tapi ada syaratnya. Muridnya kudu pinter dulu makenya.
Karena ustadz belum punya kurikulum yang berkesinambungan, santri harus hati-hati mengambil rujukan dari pendapat ustadz-ustadz tersebut. Tidak bisa asal ketemu status yang menarik trus langsung dicomot, dishare, digunakan untuk menjustifikasi pendapat, atau sebaliknya, yang dirasa aneh langsung disingkirkan, dipinggirkan karena takut melemahkan iman.
Itu kalau mau jadi santri beneran sih. Kalau mau tulus mempelajari ilmu dari seseorang. Bukan hanya mau mencari ilmu yang mendukung pemikiran. Kalau yang begitu sih bukan santri namanya.
Coba kita ingat, ketika kita masuk sekolah pertamakali, mau masuk SMA misalnya. Apa kita menempatkan diri kita sebagai orang yang sudah pinter pelajaran SMA, atau sebaliknya? Tidak tahu apa-apa.
Lha tapi saya bukan pendakwah, bukan ustadz, juga bukan santri. Saya mah cuma orang yang hobi nyocot, atau hobi ngeshare status.
Ya kalau sudah begitu, maka jangan ngotot. Jangan ngotot supaya petuah-petuahnya dituruti banyak orang. Wong bukan ustadz. Jangan ngotot ikutan ngeshare status ustadz dan menjelek2kan ustadz lain, wong bukan santri.
Ya termasuk saya ini juga, nggak ngotot kok, kalau situ mau lanjut nyantri dan ngustadz pake metode yang sudah ada ya monggo juga sih. Hehe.
Tapi kalau saya sih, memilih untuk mencoba memahami sesuatu tidak dengan linear. Mencoba memahami perkataan, kejadian, tidak dengan parsial, tapi melihatnya dalam konteks yang seluas-luasnya. Mencoba tidak berburuk sangka terhadap kejadian atau pendapat tanpa mempertanyakan banyak hal. Banyak sekali hal yang dalam perjalanan saya mencari jawaban pertanyaan tersebut, seringkali saya temukan hal-hal baru yang tak terpikirkan oleh saya sebelumnya, dan menambah wawasan berpikir saya.
Saya sih ngrasanya begitu. Semoga saja seharusnya seperti itu.
0 komentar:
Posting Komentar