Beranda
N-J-A-P-A
Sinopsis Jodha Akbar
Tulisan Bebas
PART 2
**Rumah Keluarga Singh**
"Jodha mana baju ayah yang sudah disetrika??", terdengar
suara teriakan ayah jodha. Teriakan untuk memastikan dia didengar di
tengah-tengah keributan abadi yang selalu terjadi menjelang pukul 8 pagi
di apartemen sempitnya itu.
"Di atas dipan, ayah", Jodha menjawab teriakan ayahnya
sambil berjalan dengan lincahnya keluar dari dapur. Kedua tangannya
penuh sesak dengan piring-piring nasi goreng. Badannya yang langsing
meliuk-liuk melewati himpitan meja, kursi, bifet dan berbagai perabot
yang nyumpel di ruangan itu. Menjelang tiba di meja makan ternyata dia
harus bertemu dengan sebukit cucian kering yang belum dilipat teronggok
di kaki kursi. Sementara kedua tangannya penuh sesak dengan piring panas
dia harus dengan mendaratkan kakinya dengan tepat melewati onggokan
bukit pakaian itu.
"Ya Tuhan, semestinya aku dapat award untuk ini semua....", katanya dalam hati.
Untungnya Bhabi membantunya meletakkan piring-piring nasgor
panas itu di meja. Tiga pria yang sudah kelaparan tanpa menunggu lagi
langsung saja melahap jatah mereka masing-masing. Saat Jodha akan
mengambil piringnya, dia melihat sesuatu terjepit di antara lantai
dengan kursi yang diduduki kakaknya.
"Slaaapphh!!", tiba-tiba dia mengaplok lengan Vaishal Bhaiya (kakak terkecil) dengan keras.
Va : (marah) "Apaa siiihh??"
Jo : (lebih marah) "Hehh, liaaatt itu dupatta ku kau injak2 pakai kursimu baaang...itu dupatta baruu kubeli kemarin dan baru kusetrika dan mau kupakeeeeeee.."
Va : (tanpa merasa berdosa sambil tetep ngunyah) "Ya ma-aaaappp, aku ga sengajaaa. Lagian ga bakal ada yang peduli juga dupatta mu itu udah disetrika ato belom."
Jo : (ngotot) "Heh, dengerin ya~! Satu, aku hari ini tampil di panggung, nyanyi buat acara penerimaan mahasiswa baru tau. Dua, aku ga bisa keluar rumah gak rapi kayak abang yang ganti baju aja 3 hari sekali!!!"
"Hei, udah ga usah dengerin abangmu. Kamu terlihat cantik
sekali hari ini sayang...", suara babhi yang lembut menenangkan
sekaligus membuatnya senang. Oh, Jodha sangat bersyukur diberkahi dengan
setidaknya satu orang yang sangat lembut di tengah-tengah orang-orang
yang selalu membuat keributan di rumah itu. Kakak iparnya itu selalu
menjadi dewa penolong baginya.
"Babhi....trimakasih yaaa...i love u soo much, tetaplah jadi dewa penolongku sampai kapanpun...", lalu memeluk ciumnya dengan sayang. Sengaja memperlihatkannya di depan kakak-kakaknya bahwa setidaknya dia punya seorang di rumah ini yang selalu membelanya.
Setelah mengakhiri keributan kecil itu, Jodha beranjak
membereskan tas kampusnya, masih sambil makan. Piringnya terbang
mengikutinya kemanapun ia bergerak.
"Jodha, kenapa sih kamu ini nggak bisa duduk baik-baik
sambil menyelesaikan makanmu. Pusing ibu liat polahmu", giliran ibunya
memprotes.
"Aku buru-buru ibuuu...", balas Jodha.
"Oya ibu sudah bereskan alat-alat musikmu. Tapi, ibu nggak mau bereskan mejamu yang berantakan kayak habis kena tsunami itu", ibu melanjutkan komplennya.
"Ibuuu, pliis, itu senii, glass painting!!! Pasti berantakan waktu membuatnya. Tapi aku ngga bisa beresin sekarang. Aku harus segera berangkat. Mesti latihan dulu paling nggak sekali, sebelum ramai yang pada datang. Aku janji beresin nanti sore ibuuu...yaaa okee...", Jodha tidak memberi kesempatan ibunya memprotes lagi dengan secepatnya mencium pipinya dan beranjak ke kamar.
"Aku buru-buru ibuuu...", balas Jodha.
"Oya ibu sudah bereskan alat-alat musikmu. Tapi, ibu nggak mau bereskan mejamu yang berantakan kayak habis kena tsunami itu", ibu melanjutkan komplennya.
"Ibuuu, pliis, itu senii, glass painting!!! Pasti berantakan waktu membuatnya. Tapi aku ngga bisa beresin sekarang. Aku harus segera berangkat. Mesti latihan dulu paling nggak sekali, sebelum ramai yang pada datang. Aku janji beresin nanti sore ibuuu...yaaa okee...", Jodha tidak memberi kesempatan ibunya memprotes lagi dengan secepatnya mencium pipinya dan beranjak ke kamar.
Setelah siap ia segera keluar pamit kepada seluruh kakak-kakaknya, menyentuh kaki ayah ibunya lalu berangkat.
"Aku berangkat dulu yaaa semuaa. Doakan aku sukses yaaa...mmuuahh".
Jodha mengeluarkan sepeda motornya dari garasi dan memacunya segera menuju kampus.
"Aku berangkat dulu yaaa semuaa. Doakan aku sukses yaaa...mmuuahh".
Jodha mengeluarkan sepeda motornya dari garasi dan memacunya segera menuju kampus.
**Auditorium**
'Gobyos', kata yang tepat untuk menggambarkan sepasukan
panitia acara dengan seragam oranye yang berlari kesana kemari untuk
memastikan semua hal dikerjakan dengan benar. AC dinding yang ada tidak
cukup berhasil mendinginkan ruangan yang penuh manusia itu. Bagian
deretan paling depan diisi oleh para profesor dan akademisi kampus.
Deret di belakangnya dipenuhi oleh mahasiswa berbagai tingkat, berbagai
program studi dan berbagai kelakuan. Ramainya bukan kepalang.
Jodha mengintip dari balik panggung. Mengedarkan pandangan
untuk membiasakan dan menempatkan dirinya nanti. Sebenarnya situasi
panggung seperti itu bukan hal baru baginya. Dia sudah terbiasa manggung
sebelum ini. Namun ada sesuatu yang entah mengapa membuat perasaanya
tidak enak hari itu. Ia memutuskan untuk bergabung lagi dengan
teman-temannya yang sedang bersiap-siap di belakang panggung.
Tiba-tiba suara seseorang terdengar menyapa "Hei ladies,
gentlemen, gimana sudah siap kan??". Profesor Raam Charan menyapa
mereka. Jodha senang dikunjungi profesornya itu. Berusia sekitar
40tahunan, orang yang ramah dan baik hati, disamping, dia adalah
pamannya Payal. Profesor Raam menjadi satu-satunya penolong mereka di
masa awal kehidupan sulit mereka di planet yang penuh alien itu.
Jo : "Pagi Prof."
Prof : "Gimana Jodha kamu nanti yang pertama pentas kan?"
Jo : "Iya Prof agak grogi ini hihi"
Prof : "Santai aja,,,"
Payal : "Masih lama giliran kami maju??"
Prof : "Sebentar lagi kan, ini sudah acara sambutan."
Tiba-tiba seorang panitia memanggil. "Jodha, ayo, sekarang. Giliran kamu. Cepet..."
Huhhh deg deg an.
**Di Atas Panggung**
Okay here she goes. Jodha menarik nafas untuk menenangkan
diri. Berjalan dengan tenang menuju panggung. Tentu saja meskipun dia
sudah berkali kali pentas di atas panggung tetao saja dia agak nervous
pada kali pertama. Terutama karena penontonnya kali ini adalah para
mahasiswa yang tak segan mencaci bila mereka melihat performa buruk.
Jodha berdoa dalam hati sambil berjalan menuju mikrofon.
Setelah merasa nyaman dengan posisinya, tiba-tiba dia sadar kalau
mikrofon itu mati. Dia berusaha meng on-off kan tombol tapi tidak juga
normal. Diketuk-ketuknya tapi tetap tidak ada suara. Ini menjengkelkan
sekali.
"Aneh sekali. Mikrofon ini baik-baik saja beberapa detik yang lalu saat mereka mengumumkan giliranku", batin Jodha.
"Aneh sekali. Mikrofon ini baik-baik saja beberapa detik yang lalu saat mereka mengumumkan giliranku", batin Jodha.
Jodha melihat kesana kemari berusaha mencari panitia untuk
dimintai pertolongan. Tak ada. Ia pergi ke belakang panggung, tapi tak
ada seorang panitia pun. Ia balik lagi ke panggung. Penonton mulai riuh.
Terdengar gumaman dari segala penjuru seperti kawanan lebah. Beberapa
saat lagi gumaman itu tentu akan berubah menjadi teriakan dan bila
kondisinya tetap sama akan meningkat menjadi lemparan gelas Taquwa ke
arahnya. Gawat!!
Jodha mulai panik. Ia mencari lokasi soundsistem, pasti
disana ada seseorang. Dia melihatnya. Terletak di sisi kanan, di sudut
luar panggung. Agak terkejut ketika ia melihat sosok yang tak asing
disana.
"Renu??? Renu yang bertugas di bagian soundsistem...?? Dan dia tenang saja disitu kayak nggak ada apa-apa?? Tunggu tunggu, apa aku dikerjain?? Tapi masak mereka segila itu mau mempermalukan aku di depan sebegini banyak orang??", Jodha terdiam. Masih belum mengambil keputusan. Berbagai pikiran berloncatan di kepalanya dengan cepat. Antara percaya dan tidak percaya bahwa dia sedang dikerjai.
"Renu??? Renu yang bertugas di bagian soundsistem...?? Dan dia tenang saja disitu kayak nggak ada apa-apa?? Tunggu tunggu, apa aku dikerjain?? Tapi masak mereka segila itu mau mempermalukan aku di depan sebegini banyak orang??", Jodha terdiam. Masih belum mengambil keputusan. Berbagai pikiran berloncatan di kepalanya dengan cepat. Antara percaya dan tidak percaya bahwa dia sedang dikerjai.
Tapi segera dia merasa kecurigaannya terbukti. Ketika dia
melihat sesosok lain yang juga tak asing berjalan mendekati Renu. Yaaaa,
tak lain tak bukan dialah si Mister Ipad Man. Dia sedang berjalan
mendekati Renu, lalu tertawa dan mengobrol sebentar.
Jodha melihat ke arah mereka dengan marah "Sialan,
menjijikkan sekali kelakuannya!!!. Jadi dia masih dendam padaku atas
kejadian tempo hari, dan begini caranya balas dendam??"
Jalal melirik Jodha. Sadar rupanya dia sedang menjadi
subyek perhatian. Bukan sekedar perhatian, lebih tepatnya sedang menjadi
subyek tatapan terpana yang pelan-pelan berubah menjadi penuh amarah.
Sadar bahwa dia sedang menjadi seorang tersangka. Jalal memutuskan untuk
membalikkan badan berdiri tegak menghadap ke arah Jodha, dengan tangan
dilipat di depan dada. Waaahhh di matanya, gadis itu nampak sangat
mempesona dalam balutan salwar dan dupatta berwarna coklat lembut.
Terlihat seperti seorang dewi yang baru turun dari taksi, eh kayangan.
Yeeahh, meskipun ditatap dengan penuh benci seperti itu, Jalal nampak
sangat menikmati memandanginya. Siapa yang tidak. Pesona dewi itu
terlalu sayang untuk dilewatkan. Akhirnya dia beranjak dari tempat itu
setelah menyunggingkan seulas senyum menggoda untuknya. Pergi menuju
kerumunan audience dan bersenang-senang dengan mereka. Hari itu Jodha
merasa harus menelan pil pahit. Menemukan musuhnya memiliki kombinasi
sifat populer, egois, dan jahat adalah sesuatu yang sangat menyebalkan .
Mulai terdengar teriakan-teriakan dari arah penonton.
"Turun turun turun..."
"Hei kamu mau apa disitu..."
"Boooooo...riiiiinggg....."
"Oooiii turun ooi turuunn..."
"Turun turun turun..."
"Hei kamu mau apa disitu..."
"Boooooo...riiiiinggg....."
"Oooiii turun ooi turuunn..."
Jodha masih terpaku di panggung bagian belakang. Segera
tersadar karena teriakan-teriakan penonton. Dia bisa melihat
kehancurannya di depan mata. Rasanya dia ingin menangis dan berlari dari
tempat itu. Tapi otaknya mencegahnya melakukan hal itu. Dia mendengar
isi kepalanya berkata "Bangun!!! Bangun dan menyanyilah!!! Jangan
biarkan musuhmu menang!! Bangun jodha bangun sekarang!!!"
Perlahan Jodha mengangkat wajahnya. Dia berjalan kembali ke
tengah panggung. Sekilas dia melihat Profesor dan teman-temannya
memberinya kode untuk segera meninggalkan panggung. Tapi tidak. Jodha
tidak berpikir seperti itu. Dia tidak ingin dikenang sebagai seorang
mahasiswa baru yang terpaksa gagal pentas saat acara pembukaan. Jodha
tidak menuju ke podium tempat seharusnya dia menyanyi. Dia berjalan
menuju bagian depan panggung. Sangat depan dan sangat mepet ke tepi
panggung sehingga dia lebih dekat ke penonton. Gadis cerdas itu sudah
berhasil menyusun rencana. Seorang mahasiswa berteriak "jadi apa
sekarang?? Kau mau lompat dari situ??"
Jodha langsung menjawab. Dengan berteriak, berusaha menandingi suara ribut dari arah penonton.
"Tidak tidak...tapi maaf, mikrofonnya mati, dan nampaknya panitia tidak bisa membetulkannya dengan cepat. Jadi aku akan tetap bernyanyi tanpa mik, supaya acara selanjutnya tetap dapat berjalan. Okaay, maaf yaa yang di belakang sana kalau kalian gak dengaar..."
"Tidak tidak...tapi maaf, mikrofonnya mati, dan nampaknya panitia tidak bisa membetulkannya dengan cepat. Jadi aku akan tetap bernyanyi tanpa mik, supaya acara selanjutnya tetap dapat berjalan. Okaay, maaf yaa yang di belakang sana kalau kalian gak dengaar..."
Keributan mereda. Mereka menunggu aksi gadis ini selanjutnya.
Jodha mulai bernyanyi. Dia memutuskan untuk mengganti lagu yang sudah
dipilihnya. Lagunya harus bisa menyentuh hati penonton. Mereka yang bisa
mendengar harus larut dalam lagunya. Dan merekalah yang akan menjadi
mikrofon buatnya. Such a very smart plan!!!
"Para Profesor yang terhormat, Para civitas Akademik,
Rekan-rekan mahasiswa semua, lagu ini saya persembahkan untuk kalian
semua, dan saya dedikasikan untuk para orang tua korban Peshawar Attack
di Pakistan. Para orang tua yang melepas putra putrinya pergi ke sekolah
dengan sejuta harapan, dan menemukan mereka kembali sebagai jenazah."
Semua orang di dalam ruangan itu diam. Bahkan yang tak dapat mendengar pun terdiam sambil menikmati gesture dan kecantikannya.
Mulai bernyanyi.....
Kulihat mendung menghalangi pancaran wajahmu
Tak terbiasa kudapati terdiam mendura
Apa gerangan bergemuruh di ruang benakmu
Sekilas galau mata ingin berbagi cerita
Kudatang sahabat bagi jiwa saat batin merintih
Usah kau lara sendiri masih ada asa tersisa
Tak terbiasa kudapati terdiam mendura
Apa gerangan bergemuruh di ruang benakmu
Sekilas galau mata ingin berbagi cerita
Kudatang sahabat bagi jiwa saat batin merintih
Usah kau lara sendiri masih ada asa tersisa
"Semuanya, mari kita menyanyi untuk mereka yaaa..." teriak Jodha
Audience terhipnotis. Semua bernyanyi. Bagaikan gelombang, begitu deretan depan yang bisa mendengar suaranya menyanyi, maka yang berada di bagian belakang pun ikut mendapat clue tentang lagu apa yang sedang dinyanyikan. Seluruh hadirin bernyanyi bersamanya. Beberapa terlihat terharu menitikkan air mata, mungkin saking menghayati lagu dan membayangkan jenazah ratusan wajah anak-anak tanpa dosa yang setia hari diekspos di media.
Audience terhipnotis. Semua bernyanyi. Bagaikan gelombang, begitu deretan depan yang bisa mendengar suaranya menyanyi, maka yang berada di bagian belakang pun ikut mendapat clue tentang lagu apa yang sedang dinyanyikan. Seluruh hadirin bernyanyi bersamanya. Beberapa terlihat terharu menitikkan air mata, mungkin saking menghayati lagu dan membayangkan jenazah ratusan wajah anak-anak tanpa dosa yang setia hari diekspos di media.
(Koor)
Letakkanlah tanganmu di atas bahuku
Biar terbagi beban itu dan tegar dirimu
Di depan samar cahya kecil tuk memandu
Tak hilang arah kita berjalan menghadapinya
Letakkanlah tanganmu di atas bahuku
Biar terbagi beban itu dan tegar dirimu
Di depan samar cahya kecil tuk memandu
Tak hilang arah kita berjalan menghadapinya
(Jodha sendiri)
Sekali sempat kau mengeluh kuatkah bertahan
Satu persatu jalinan kawan beranjak menjauh
Kudatang sahabat bagi jiwa saat batin merintih
Usah kau lara sendiri masih ada asa tersisa
Satu persatu jalinan kawan beranjak menjauh
Kudatang sahabat bagi jiwa saat batin merintih
Usah kau lara sendiri masih ada asa tersisa
Empat menit. Diikuti dengan tepuk tangan riuh dan standing
applause. Jalal terkesima. "Edan!! Dia benar-benar tangguh!!", gumamnya.
Jodha tersenyum. Membiarkan dirinya menikmati kebanggaan
nya berhasil melewati permasalahannya hari ini. "Thanks God, I did
it!!!!". Menyempatkan diri mengedarkan pandangan ke arah audience,
mencari sesosok itu. Yaaa, dia merasa harus melihat reaksi musuhnya atas
keberhasilannya. Tapi yang didapat Jodha adalah keheranan. Mengapa tak
tampak sedikitpun air muka kekalahan di wajah Jalal. Bahkan dia merasa
Jalal senang. Apakah dia menikmati permainan ini?? Atau apa?? Sedetik
kemudian terlintas di pikirannya... "Atau,,, apa semua ini, semua
kejahatannya belumlah berakhir??". Jodha menarik nafas panjang,
tersenyum, memberikan salam dan meninggalkan panggung.
**Di Belakang Panggung**
"Wah, sekarang aku mengerti mengapa kau mencaci maki
suaraku. Waaawww, aku jadi membayangkanmu menyanyi untukku -bibirmu sexy
itu terbukti dari caramu cium pipiku- ", berdiri di hadapannya seonggok
kingkong bermuka mesum yang masih saja suka mengganggunya.
Jodha sibuk menerima pujian dan ucapan selamat dari banyak
orang yang berada di belakang panggung. Sambil sesekali menatap Sarif
dengan tatapan jijik dan benci. Sarif menyadarinya. "Hei, aku cuma
bercanda, woles dikit napa...", katanya.
Jodha menjawab, "OK Sarif. Sak karepmu. Aku ra urus. Tapi
maaf aku harus segera pergi, karena......". Tiba-tiba dia melihat sosok
itu lagi. Sedang berjalan bersama dengan geng nya. Jodha mendapat ide
untuk mengganggunya, merasa sedang di atas angin karena kemenangannya
hari itu. Dia melanjutkan kalimatnya, agak keras, memastikan bahwa orang
yang ditujunya mendengar dengan jelas, "Apa yang kamu tanam, itulah
yang akan kamu tuai".
Triinggg, bagaikan sms yang langsung nyampe ke tujuan.
Jalal segera tahu kalau kalimat itu ditujukan padanya. Tanpa berpikir
panjang ia memisahkan diri meninggalkan teman-temannya, berjalan ke arah
Jodha. Berhenti saat merasa sudah sangat dekat di hadapan Jodha. Sambil
membetulkan jam tangan mahalnya, berdiri dengan gaya super cool, dia
mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Permen karet. Dibuka bungkusnya,
diemploknya di depan Jodha, lalu ditiupnya, dan pecah "tuss".
"Mau?", sambil mengangsurkan permen pada Jodha. Tentu saja
yang ditawari menolak. Lalu Jalal dengan santai berkata "Oh, kupikir ini
bisa meredakan kemarahanmu. It's ok."
Mengangkat bahu, tersenyum skeptis, lalu berbalik berjalan meninggalkannya. Memutuskan tetap jual mahal. Hohoo..
Mengangkat bahu, tersenyum skeptis, lalu berbalik berjalan meninggalkannya. Memutuskan tetap jual mahal. Hohoo..
**Di Parkiran Motor**
Jodha terpaku membayangkan seluruh kejadian hari ini. Lalu
tersenyum. Mengagumi dirinya sendiri atas kecerdasan dan ketangguhannya.
Haha.
Hp nya berbunyi. SMS. Dibukanya.
"Kamu selalu nampak menarik. Tapi hari ini, kau nampak
gemilang dan mempesona. Kini kau telah membuat seseorang menjadi
pengagummu. Pengagum kecantikan sekaligus suaramu"
Jodha membalas, "ya, tapi siapa ini??"
Ditunggu. Tak ada balasan. Ditelpon. Tidak nyambung. Nampaknya sudah dimatikan.
Jodha selalu suka mendapat pujian, sangat suka. Tipikal
orang yang sangat percaya diri dan bangga pada semua yang ada di
dirinya. Tapi kali ini dia tidak suka. Karena dia tidak tau siapa yang
berlaku aneh ini.
"Siapa? Sharif? Jalal?? Nampaknya Jalal lebih mungkin
menjadi tersangka....entahlah...", katanya dalam hati. Lalu menaiki
sepeda motornya pulang.
nice...cool and chick ff....love it
BalasHapus