Minggu, 01 Februari 2015

16 desember

*** The Gym***

CLANG - JAM - CLANG - JAM - CLANG - JAM - CLANG - JAM

Suara dentingan besi beradu dengan besi terdengar riuh di dalam arena gym di suatu sudut kota Hyderabad. Tampaknya suasana *Khaibar Gym* pagi itu sedang sangat penuh pengunjung.

"38,,,, 39,,,,, 40,,, aarrghh", ia mengeluarkan suara perut tertahan sambil melepaskan barbel besar dari tangannya. Lalu melangkah duduk di salah satu kursi istirahat yang nyaman. Pemuda itu mengambil selembar handuk dari tas olahraga dan mulai menyeka keringat di sekujur wajah, leher dan tangannya.

"Apa kau juga mau menghapus senyum itu dari wajahmu juga???"

"Hah??", Jalal menoleh ke arah suara itu sambil kebingungan "Apa??"

"Iya. Kau senyum-senyum sendiri saat kita masuk kesini jam 7 tadi. Sekarang sudah hampir jam 8 dan kau masih juga tetap melakukan hal yang sama". Abdul mengambil sebotol air mineral dan meneguknya sambil melangkah menuju peralatan latihan berat di sampingnya. "Dia sudah membuatmu tertarik kan mén..??"

Jalal melihatnya sambil meringis bingung, atau pura-pura bingung... "Siapaaa??"

Abdul menatapnya datar, tampak tidak tertarik akan kepura-puraan-tidak-tahuannya. "Setengah orang di kampus sudah mulai bertanya-tanya dan membicarakan kalian.."

"Heeyy, kamu tahu sendiri... Setengah dari jumlah penduduk kampus kita memang tukang gosip mén..", jawab Jalal sambil tersenyum pada sahabatnya.

Melihat temannya tampak tak terlalu serius menanggapi, Abdul memutuskan untuk menghentikan kepura-puraannya dengan menambah tingkat keseriusan bicaranya.

"Jalal,,, jangan lupa!! Aku sudah mengenalmu hampir 15 tahun,,, dan aku yakin, ekspresi yang tampak di wajahmu saat melihatnya, itu bukan ekspresi yang pernah aku lihat..."

"Hey,, hey, hey,, ", Jalal menghentikan kalimat Abdul sebelum berlanjut menjadi sesi interogasi mendadak, "tunggu tunggu, siapa yang sedang kau bicarakan ini??"

"Berhenti berpura-pura tak tau Jalal!!! Kamu tau siapa yang sedang kubicarakan!!"

Jalal menggelengkan kepala "Enggak..,, siapa??"

Malas meladeni permainannya, Abdul langsung menjawab "Jodha!!"

Mendengar nama itu disebutkan, meskipun ia berusaha keras untuk tidak mengeluarkan ekspresi "tertangkap basah", meskipun ia berjuang untuk menahan perasaannya dan merasa biasa saja,,,, faktanya itu terlalu sulit. Tetap saja Abdul melihat ekspresi 'blushing' di wajahnya.

"Jodha?? Aah, dia memang gadis yang manis. Aku senang berkawan dengannya. Tapi itu saja, tidak lebih..."

"Ohh!! Jadi itu sebabnya mengapa setiap sore, kau selalu gelisah melihat jam tanganmu, sampai ia bergabung dengan kita di perpustakaan baru kau tenang. Kadangkala aku merasa kalian berdua bagai berada dalam dunia kalian sendiri sementara aku dan Meera hanya cacing dan semut sekedar sebagai pelengkap ekosistem..."

Jalal terdiam sejenak, agak terkejut dengan pengakuan sarkastis kawannya.

"Arre... bukan begitu kawan.... kami hanya teman,,, tidak lebih..."

"Hanya teman katamu?? Kalian berdua lebih tampak seperti sepasang manusia yang tak henti-hentinya saling melirik daripada hanya sekedar teman..."

"Wow, apa kami tampak seperti itu??", Jalal bertanya sambil tersenyum jahil. Sekarang ejekan temannya mulai terdengar menyenangkan baginya.

Abdul jengkel sekaligus terkejut dengan perubahan responnya. "Hahh, jadi kenapa kamu masih menolak mengakuinya?? Tampaknya kau tidak keberatan dengan apa yang baru saja kukatakan tentang kau dan dia..."

"Apa aku tampak begitu??" Jalal bertanya dengan mimik innocent. lalu memukul bahu temannya untuk mengakhiri pembicaraan "Sudaahh!! Ayo pergi dari sini. Kita belum mandi. Nanti kita terlambat!"

Sambil meraih barang-barangnya, Abdul tersenyum tipis dan mengangguk mengiyakan. Dalam hatinya ia berkata, "Aku tak tau bagaimana harus mengatakannya padamu kawan... aku pasti bahagia jika kau bahagia. Tapi dalam kasus ini, jujur saja aku agak khawatir, tentang ke arah mana semua ini akan berkembang. Dia tak cocok untukmu, Jalal. Sama sekali tak cocok dari segala sisi!! Aku takut kau akan patah hati nantinya.... semoga saja aku salah..."


*** Rumah Jodha ***

CEEESSS-BLLLUPP-CEEESSS-BLLLUPP-CEEESSS-BLLLUPP-

'Hmmm...' dia mengaduk dan mencium aroma masakannya, lalu mundur berdiri di samping kitchen set di dekatnya. Uap panas dan aroma saus pasta yang masih meletup-letup di atas kompor itu nampak mengganggunya.

'Hmmm..', temannya hanya diam saja mengamati semua gerakannya sambil mendesah pelan dengan raut muka yang tidak terlalu senang. Sudah hampir jam 8 pagi dan dia harus mengembalikan buku terlebih dahulu ke perpustakaan sebelum kelas dimulai. Karena sepeda motornya sedang berada di bengkel, hari itu Meera memutuskan untuk membonceng Jodha ke kampus. Dengan begitu ia berharap bisa menghemat waktu daripada naik bus umum. Tapi ironis, yang didapatnya adalah sebaliknya. Karena Jodha justru memutuskan mencoba resep pasta terbaru pagi itu untuk bekal mereka. Dan disanalah ia berada sekarang. Terjebak dalam hiruk pikuk di dapur sempit, sudah pasti terlambat, dan tak tahu kapan temannya akan mengakhiri apa yang sedang dilakukannya.

"Ya Tuhaan,,, kenapa saus ini jadi begini bentuknyaaa...", sang koki mengeluh dengan masakannya.

"Karena kamu ngga kasih minyak buuu!!", sahut temannya jengkel. "Jo,,, tidak bisakah kita makan di kantin saja nanti??"

"Tidak Meera. Aku tak enak minta tambahan uang terus pada kakakku untuk makan di kantin. Dan, minyak tidak bagus untuk kesehatan nona..."

"Hmmm... tak biasanya kamu begitu peduli dengan makanan sehat. Sedang dietkah??", goda Meera sambil mencubit pinggang ramping temannya.

"Aaww", Jodha berteriak geli. "Sesuatu yang memang harus kita mulai kaaan..."

Meera mengawasi Jodha memasukkan semua pasta yang dibuatnya ke dalam 4 buah box makan.

"Banyak amat?? Buat siapa saja itu?", tanyanya.

"Buat kita berempat..."

Meera menepuk jidatnya. "Aaa iyaa, bagaimana ku bisa lupa. Sekarang kan kita berempat ya... hmmm, aku harus berterimakasih pada seseorang, gara-gara dia aku jadi bisa menikmati aneka hidangan lezat tiap hari.."

"Iiihh, apa maksudmu coba?? Aku selalu membawakan jatahmu yaaa sejak dulu. Tapi sejak sekarang kita selalu berempat, masak iya aku membiarkan mereka berdua ngiler lihat kita makan..."

"Ohya, tentu... aku mengerti...,,, makanan yang lezat, cat kuku biru terang yang senada dengan sepatu sandalmu... dan matching dengan salwar crepe mu.... ooh laa laa..."

"Apa Meeraa... apa yang sedang kau coba katakan ha??"

"Nggak ada. Hanya mengomentari gaya berbusana dan dandanan yang sekarang selalu oke, rapi dannn,, cantik", ia mengatakan itu sambil mengedip-ngedipkan mata dan senyum usil menggoda temannya.

"Yee aku kan memang selalu berpakaian rapi..."

"Yaa. Tapi belakangan ini nampak makin rapi, makin cantik. Salah satu alasan untuk dia makin sering memandang takjub padamu..."

Jodha mengerutkan keningnya, mencoba memahami arah pembicaraan sahabatnya. "Siapa??", tanyanya serius.

"Berhenti berpura-pura Jo!! Kau tau siapa yang sedang kubicarakan"

Jodha memandangnya tampak tidak mengerti, atau berpura-pura tidak mengerti....

"Aku sedang membicarakan Jalal!!! Siapa lagi...., jelas sekarang setengah orang di kampus sedang...."

"Sssstttt,,,,", Jodha mendekatkan telunjuknya di bibir memberi isyarat temannya untuk diam. "Ayah, Ibu dan kakak-kakakku sedang di rumah. Nanti mereka dengar. Lagian, aku nggak ada apa-apa sama dia. Kami hanya berteman Meera. Dan kau tau sendiri, seberapa populernya dia. Apa yang dia lakukan akan selalu jadi bahan pembicaraan. Sudah jangan mengada-ada lagi. Kamu sudah terlambat kan, ayo berangkat."

Sambil menuruni anak tangga, Meera bertanya tentang sesuatu. "Jo, ngomong-ngomong, apa keluargamu sudah memberimu izin untuk ikut pesta tahun baru nanti??"

Meera menangkap ekspresi temannya yang seketika berubah menjadi murung. "Belum Meer...,, aku tak yakin mereka akan mengijinkanku. Bahkan mereka tak terlalu suka aku pulang terlambat tiap hari. Kalau akhirnya mereka bisa menerimanya, satu-satunya alasan adalah demi tesisku!! Tapi untuk pesta hingga larut malam???? Entahlah... aku tak yakin..."

Mendengar jawabannya, kali ini Meera merasa akan ada kabar baik. Enam minggu yang lalu saat ia dan Payal mengajaknya datang ke ulang tahun Jalal, ia sama sekali tak mau. Tak peduli bagaimana mereka berdua membujuknya, ia tetap tak mau. Tapi kali ini, ketika dia menginginkannya, entah bagaimana caranya, Meera tahu dia akan berhasil meyakinkan keluarganya.




***Lapangan Olahraga - Pertandingan Bola***

"Kesini, kesini sini sini kosong..."

"Lempar ke Salim, aaahh lempar bola sialan ituu monyeett.."

"Oooiii lari Anaand ceppaaatcepatcepatcepattt... wooooiiii kampreet..."

"Yaaaayyy!!! Woohhh shitt!!"

"Ya Tuhan...", ia mendesis perlahan. Miris mendengar rentetan sumpah serapah bertubi-tubi yang keluar dari mulut para pemain sepakbola amatir itu. Jelas dia tak akan menyempatkan diri menonton pertandingan semacam itu kalau saja kedua temannya tak mengajaknya mampir sebentar dalam perjalanan mereka menuju lab komputer. "Olahraga macam apa yang membuat para pelakunya menjadi seperti sekelompok hewan liar yang berlari kesana kemari sambil menyumpah serapah...", batin Jodha.

Dia benar-benar tak habis pikir. Bahkan seorang Jalal yang begitu terhormat bisa terlibat dalam olahraga semacam ini. Bisa dikatakan dia adalah orang yang sama sekali tak pernah peduli dengan olahraga yang satu ini. Baginya, CRICKET jauh lebih bermartabat.

Setelah selesai mengedarkan pandangan pada ke 22 pemain, kini pandangannya jatuh hanya pada seorang pemain ganteng dan kekar yang tengah sibuk berlari-lari menggiring bola. Tak salah lagi betapa jiwa kompetitifnya nyata terlihat dalam pertandingan itu. Intensitas pergerakannya sangat cepat dan hebat. Didukung dengan kekuatan fisik yang prima, menjadikan ia salah satu pemain yang paling diperhitungkan oleh pihak lawan.

Biasanya dia tak pernah terpesona oleh seorang laki-laki dari bentuk fisiknya. Tapi kali ini, dia menyadari mengapa banyak gadis yang terpesona oleh karakter fisik pemuda itu. Ia mengamati figur fisik pemuda itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Wajah nan rupawan tertopang oleh leher yang kuat dipadu dengan dada bidang menjadikannya begitu mempesona. Kaos t-shirt berwarna merah gelap yang dipakainya menempel di badan karena derasnya keringat yang mengalir, menjadikan otot-otot lengan dan dadanya terekspos sempurna.

"Jodha!!! Apa yang sedang kau lakukan!!"

"Apaa???!!", Jodha terkejut. Saking khusyuknya dia mengamati sampai-sampai ia terkejut sendiri oleh suara hatinya yang menyadarkannya dari lamunannya. Ia terkejut dengan apa yang baru saja dilakukannya. "Apa?? Apakah aku sedang mengamati bentuk tubuhnyaa??", tanyanya dalam hati. Ia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melepaskan diri dari keterkejutannya. Seumur hidupnya, ini pertama kali ia melakukan perbuatan yang tergolong tidak sopan dalam kamus hidupnya itu!!

Tiba-tiba,,,

"Hai Jodha, Payal, Meera...",

Suara itu membuatnya terkejut sekali lagi. Tanpa disadarinya, pertandingan rupanya telah usai. Dan kini, pemuda yang sedari tadi diamatinya sedang berlari-lari kecil menghampirinya.

"Jodha, Meera, kita tetap bertemu di perpustakaan nanti kan?? Aku mungkin agak terlambat nanti ya", katanya setelah berada di dekatnya. "Ngomong-ngomong aku nggak tahu kalian bertiga melihat permainan kami tadi. Seandainya aku tahu, aku mungkin terpaksa bersikap lebih sopan... haha", lanjutnya.

"Kamu mengikuti berita tentang sepakbola?? Kamu menyukainya??". Ia tahu pertanyaan itu hanya ditujukan padanya, karena hanya dia yang sedang dilihatnya.

"Aku mengikuti berita tentang olah raga nasional kita, cricket", jawabnya mengesampingkan pertanyaan yang kedua.

"Aha, sepakbola juga sama nasionalnya dengan cricket..."

"Benar juga.."

"Ngomong-ngomong, sebentar lagi ada pertandingan sepakbola antar universitas. Kamu mau datang untuk mendukung kami??"

Jodha diam saja, bingung mau menjawab apa. Dia sama sekali tidak tertarik. Tapi bagaimana cara menolak dengan sopan... Mengapa dia selalu melibatkannya dalam situasi sulit semacam ini...

"Untuk mendukung kampus kita mungkin??", lanjutnya dengan nada setengah memaksa.

"Entahlah...", jawabnya bimbang

Nada suaranya mulai melunak, "Untuk mendukungku mungkin??"

Akhirnya Jodha mendongak menatap wajahnya. Awalnya ia membalas tatapan lembutnya dengan sorot mata tajam yang menandakan dia tak suka. Ah tapi itu tak bertahan lama. Sebentar kemudian ia menemukan dirinya terjebak dalam tatapan lembut itu. Lalu kalah.

"Aku mungkin datang", ia berhenti sejenak "Untuk mendukung kampus kita tentunya", lalu tersenyum bangga. Tidak dia tidak kalah. Dia masih bisa memenangkan percakapan itu.

Jalal hanya bisa tersenyum menahan geli sambil memandangi wajahnya. Ekspresi itu lagi!! Ekspresi yang muncul tiapkali ia merasa menang atas Jalal. "Aku rela mengalah padamu selamanya untuk bisa melihat senyum itu nona..", katanya dalam hati.

"Jalaaaalll, apa yang kau lakukan disini!!" tiba-tiba sebuah suara keras mengejutkan mereka.

Jodha, Meera dan Payal menoleh mencari sumber suara, dan segera menemukan seorang gadis yang sedang berjalan mendekat dengan raut wajah tidak suka.

"Renu...haaii..", Jalal menyambut kedatangan sahabatnya.

"Jalal aku menelponmu. Kau membawa catatanku kan?!!", ia berbicara dengan ketus, jengkel dan marah.

"Aku ada pertandingan Ree,,, aku baru saja akan..."

"Jalal!! Pertandinganmu sudah selesai sejak 15 menit yang lalu!! Jadi tak usah berbohong atau mencari alasan!!", kemarahannya tak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. "Kamu tidak merasa bersalah mengabaikan telponku akhir-akhir ini. Trimakasih padanya!!!", ia melihat Jodha penuh kebencian. "Kamu bahkan tak pernah mengabaikan telponnya ketika kamu sedang bersama teman-teman kita. Mengapa tiba-tiba dia menjadi jauh lebih penting daripada kebersamaan kita!!!!"

Jodha shock mendengar semua itu.

Bahwa Renu tak menyukai Jodha, itu sudah bukan rahasia lagi. Tapi luapan kemarahan ini benar-benar mengejutkan semua orang yang ada disitu, terutama Jalal!! Apakah ini efek dari perasaan yang dipendamnya selama ini??

Bagaimanapun juga, apa yang dilakukan Renu menyedihkan semua orang, lebih-lebih Jodha. Dari reaksi Jalal yang terdiam bingung tak mampu mengucapkan sepatah kata pun, jelas bahwa dua sahabat karib ini tak pernah bertengkar sehebat ini sebelumnya. Meskipun Jodha tahu itu sama sekali bukan kesalahannya, tapi menjadi pasak pengganjal dari persahabatan mereka adalah sesuatu yang sama sekali tak pernah diharapkannya.
Comments
9 Comments
Facebook Comments by Media Blogger

9 komentar:

  1. Ya abis,.. mbak cepet di uploed lagi ya..

    BalasHapus
  2. Haaaaiii udah pada baca part 16 belum sih?? Aku posting 2 part loh...

    BalasHapus
  3. Bacanya sambil senyum2 sendiri q....kayak orang gila aja krna baca ini

    Semangat ya bunda nia

    BalasHapus
  4. waw ...... persaingan 2 hati ..... lanjut.

    BalasHapus